• Silahkan bergabung dengan chat kami di Telegram group kami di N3Forum - https://t.me/n3forum
  • Welcome to the Nyit-Nyit.Net - N3 forum! This is a forum where offline-online gamers, programmers and reverser community can share, learn, communicate and interact, offer services, sell and buy game mods, hacks, cracks and cheats related, including for iOS and Android.

    If you're a pro-gamer or a programmer or a reverser, we would like to invite you to Sign Up and Log In on our website. Make sure to read the rules and abide by it, to ensure a fair and enjoyable user experience for everyone.

Liga Italia Apakah Massimiliano Allegri Memang Lebih Baik Dari Antonio Conte?

Bola

SBOBET
Journalist
Minggu (3/5) dini hari WIB, tandukan maut Arturo Vidal memanfaatkan umpan manis Stephan Lichtsteiner, berhasil memenangkan Juventus atas Sampdoria lewat skor tipis 1-0. Hasil itu berarti lebih dari sekadar kemenangan, karena Juve akhirnya sanggup memastikan scudetto Serie A Italia ke-31, sekaligus yang keempat secara beruntun.

Keunggulan 17 poin milik Juve (dengan unggul satu partai), mustahil dikejar sang antagonis utama, Lazio, mengingat Serie A yang tinggal menyisakan empat pertandingan. Torehan itu terasa lebih luar biasa, karena sebelumnya I Bianconeri juga berhasil melenggang ke final Coppa Italia dan semi-final Liga Champions. Artinya, asa meraih trebel winners, yang bakal jadi torehan tertinggi Tim Hitam-Putih dalam semusim, masih bisa terwujud.

Namun jika kita mundur ke awal musim dan melihat siapa sosok di balik kesuksesan ini, kita khususnya Juventini tentu tak akan percaya. Ya, Massimiliano Allegri. Pelatih yang bisa membuat Zlatan Ibrahimovic murka di ruang ganti, menendang Andrea Pirlo keluar dari AC Milan, dan memaksa Filippo Inzaghi pensiun lebih cepat.

Segala ketakutan terhadap Allegri yang berpotensi merusak jalur emas Juve dalam tiga musim terakhir, bak jadi hantu di sepanjang musim. Publik terheran-heran dengan keputusan gila manajemen Si Nyonya Tua, yang dinilai mabuk ketika menelepon pria berusia 47 tahun untuk menggantikan figur paling dicintai, Antonio Conte, yang mundur karena tak tahan dengan fantasi liar presiden klub, Andrea Agnelli.

Tapi, apa yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Secara luar biasa, Allegri membawa Juve ke puncak tertinggi sejak kejatuhan calciopoli. Sosoknya perlahan mulai dicintai serta jadi idola dan Agnelli dibawanya menuju puncak orgasme. Lebih sederhana Juventini kini sudah bisa move on dari cinta lama dan mulai menikmati petualangan cinta yang baru.

Perdebatan pun mengemuka, apakah Juve memang jadi lebih baik di bawah Allegri ketimbang Conte?


Conte, sang motivator ulung

"Apa yang kalian takutkan? Pergilah ke lapangan dengan rasa percaya diri, karena kalian mengenakan jersey Juventus! Bertandinglah bak seorang Gladiator hingga titik darah penghabisan! Buat lawan kalian tak sempat menghela nafas dan bila perlu sekalian saja makan rumputnya!" kira-kira bentakan itulah yang dilancarkan Conte, setiap kali para Juventino memasuki ruang ganti, seperti digambarkan asistennya, Massimo Carrera.

Kehadiran Conte di musim panas 2011 bagaikan matahari yang menyinari tim, selepas dirundung mendung bertahun-tahun tanpa mengenal musim. Apa yang hilang dari identitas Juve sejak tenggelamnya mereka ke titik terendah karena calciopoli, sukses kembali dihadirkan sang allenatore.

"Lo Spirito Juve", begitu orang-orang menyebutnya, telah hadir kembali lewat permainan Juve yang seperti tak mengenal lelah. Determinasinya tinggi jadi ciri khas di setiap partai, Claudio Marchisio cs dibuatnya bermain bak orang kelaparan yang mengejar bola kemanapun arahnya, dan sekalinya melantur, Conte dengan sigap siap mencambuknya lewat teriakan memekik, memekakkan telinga. Ketika momen mencetak gol tiba, maka seluruh penggawa Juve akan larut dalam emosi yang begitu menggelora, sekalipun menghadapi tim kecil.

Cara itu paling efektif untuk membangkitkan mental tim yang sedang terpuruk untuk kembali ke level yang layak. Conte sudah membuktikannya di Arezzo, Bari, Atalanta, Siena, hingga dalam waktu singkatnya di timnas Italia kini. Namun ketika sudah sampaik di titik layak dan siap melangkah sekali lagi untuk menuju puncak, di situlah kelemahan pria 45 tahun ini mulai terlihat.

Meminjam istilahnya, Conte sedikit meleset soal pengibaratan timnya untuk berjuang layaknya Gladiator. Hati, emosi, dan nafsu memang bisa membuat sang Gladiator bertempur melawan hewan buas tanpa kenal rasa takut. Pertarungan menghibur juga akan tersaji hingga membuat para penonton seantero Colloseum Roma berdecak kagum. Tapi dengan cara tersebut, bagaimanapun hewan buas lah yang akan keluar sebagai pemenang.

Seorang Gladiator sejati tidak bertarung dengan cara seperti itu. Ia akan bertarung dengan cara manusia, yang selain menggunakan hati juga mengandalkan otak. Gladiator bakal memanfaatkan sekat-sekat panggung pertarungan Colloseum, untuk menjebak sang hewan. Kadar emosi pertarungan memang akan menurun drastis, tapi sang Gladiator pasti akan keluar sebagai pemenang.

Komposisi hati dan otak itulah yang tidak dimiliki Conte pada bobot yang setara. Dirinya memang bukan orang bodoh dalam hal taktik, terbukti dengan jasanya kembali mempopulerkan skema klasik 3-5-2. Namun gaya permainannya yang lebih mengedepankan hati akan sangat mudah terbaca oleh tim-tim berpengalaman, utamanya di kompetisi Eropa.

Lihat apa yang bisa dilakukan Jose Mourinho, Pep Guardiola, hingga Carlo Ancelotti terhadap timnya. Mereka juga bermain dengan hati, tapi mereka lebih mengedepankan otak untuk jadi pemenang. Cerdik dan sedikit licik, tanpa menyalahi aturan.

Semangat saja tidak cukup untuk bisa membuat Juve berjaya di Eropa. Perlahan namun pasti, rasa permainan yang sama juga berpotensi menimbulkan kejenuhan mendalam hingga mengikis dominasi Si Nyonya Tua di Serie A.


Allegri, dinilai tepat pimpin Juve di Liga Champions

Manajemen Juve juga coba melihat Conte dari sisi lain. Lambat laun mereka tersadar, jika idola Juventini ini bukan lagi instrumen yang bisa diajak bekerja sama untuk proyek maha besar: berjaya di Liga Champions. Ups, belum sebagai juara tapi minimal menembus babak empat besar.

Sejak bursa transfer musim panas 2013, Conte terus-terusan merengek meminta pemain bintang berbanderol dan bergaji selangit untuk memenuhi tuntutan manajemen. Beppe Marotta cs merasa Carlos Tevez dan Fernando Llorente cukup untuk itu. Tapi apa yang sang pelatih buktikan di atas lapangan berkata sebaliknya. Juve gagal total di Liga Champions musim lalu dan secara memalukan urung jadi juara Liga Europa, padahal tak punya pesaing!

Rengekan yang sama kemudian hadir di bursa musim panas 2014. Tapi kali ini manajemen bertindak tegas, kebijakan untuk tak mengeluarkan dana berlebih demi efisiensi diutamakan dan Conte diminta menerima hal itu, tanpa mengubah target tim. Tak tahan dengan tekanan tersebut, akhirnya pria berjuluk The Special One Italy itu mundur, karena menilai Juve tak akan pernah sukses dengan skuat "berharga murah".

Sosok yang sudah dipantau sejak dipecat Milan, Allegri, kemudian ditunjuk menggantikan Conte. Ya, manajemen Juve tidak secara instan menunjuk Allegri, seperti yang santer diberitakan. Proses panjang harus dilalui lewat ide Marotta yang kemudian dianalisis Pavel Nedved hingga disetujui sang presiden, Agnelli.

Juve menilai Serie A yang diraih dalam tiga musim terakhir masih dalam genggaman, sembari menilik melemahnya para kompetitor. Karena itu, mereka butuh sosok pelatih yang bisa mengangkat prestasi tim di Liga Champions. Nama-nama seperti Roberto Mancini, Vicenzo Montella, hingga Gianluca Vialli yang lebih dijagokan sebagai pengganti Conte, sama sekali tak teruji di ajang tersebut. Oleh karenanya, Allegri adalah pilihan terbaik dari sisi prestasi dan tentunya finansial.

Pelatih kelahiran Livorno ini memiliki rekor yang bagus dengan dua kali mencapai babak perempat-final, tanpa pernah terhenti di fase grup, dari empat musim keikutsertaannya di Liga Champions. Dalam prosesnya, ia bisa secara mengejutkan membantai tim seperti Arsenal dan membuat Barcelona tunduk dua kali.

Kekhawatiran lantas menyeruak, seiring sejarah buruk hubungan Allegri dengan anak buahnya. Ia disebut kaku dalam bersosial, terlalu ceplas-ceplos menilai performa buruk timnya, dan tak segan menyingkirkan ikon yang dinilai tak masuk dalam rencana. Bersama Allegri, Juve bisa sekonyong-konyong kembali terlelap.


Keterangan: Statistik Allegri dihitung sebelum duel hadapi Sampdoria, Sabtu (2/5) malam WIB.

"Saya mengagumi Allegri sebagai salah satu juru taktik paling cerdas di Italia. Tapi, saya kurang menyukai dirinya sebagai manusia sejati," begitu tulis Gianluca Zambrotta dalam buku otobiografinya, Una vita da terzino (Hidup Sebagai Fullback). Bek sayap legendaris Italia ini pernah jadi anak asuh Allegri di Milan selama dua musim lamanya.

Bukan tanpa alasan jika Allegri pernah dinobatkan sebagai pelatih terbaik Serie A sebanyak dua kali, karena dirinya memang dianugerahi bakat taktikal yang tergolong mumpuni. Ia tak pernah terpaku dalam satu skema saja dan tanggap jika timnya mengalami kejenuhan bermain. Mantan gelandang medioker Italia itu juga ahli dalam menganalisis kekuatan dan kelemahan lawan, jauh-jauh hari sebelum pertandingan.

Namun seperti diungkapkan Zambrotta, Allegri adalah pribadi yang buruk jika dihadapkan pada masalah psikologis. Ia pernah nyaris dihajar Ibrahimovic di ruang ganti, setelah memberi ucapan "selamat" pasca Milan kalah 3-0 dari Arsenal. Dirinya juga yang dengan lancang menyarankan Inzaghi untuk pensiun saja karena sudah terlalu tua.

Yang paling menghebohkan jelas kasus Allegri dengan Andrea Pirlo kala masih di Milan, padahal kini Il Maestro kembali jadi anak asuhnya! Dalam buku otobiografinya, gelandang paling jenius di Italia itu menyebut Allegri adalah penyebab utama keputusannya mengakhiri pengabdian satu dekade untuk I Rossonerri. "Allegri tak menginginkan saya," ungkapnya singkat.

Kontroversi segera diakhiri Allegri di hari pertamanya melatih Juve. Hubungannya dengan Pirlo membaik dan tak lagi timbul masalah hingga kini. Ia sadar dirinya harus lebih dewasa, karena melatih tim seperti Juve tak bisa datang dua kali di tengah situasinya. Pelatih yang mulai mencuat namanya bersama Cagliari ini juga mulai gemar berdiskusi terkait masalah apapun dengan para pemainnya.

Satu keuntungan krusial Allegri adalah mentaltas juara Tim Hitam-Putih warisan Conte. Mereka berada di level kematangan menuju sempurna, sehingga hanya butuh sosok yang bisa mengelola taktik secara brilian seperti dirinya. Kondisi itu sekaligus memendam sisi buruknya di masa lalu.

Bersama Allegri, para penggawa Juve menemukan arti sejati dari perjuangan seorang Gladiator. Dengan pola yang jauh lebih metodis, selain mentalitas bertempur yang sudah dikuasai dalam tiga musim terakhir, mereka mulai sanggup bermain dengan cerdas dan sedikit licik.

La Vecchia Omcidi tak sungkan bermain aman, bukan lagi terengginas tanpa kontrol seperti dahulu. Mereka juga tak terpaku dengan permainan menyerang yang indah nan atraktif. Juve-Allegri lebih mau bermain pragmatis demi mempertahankan keunggulan. Cara tak terduga seperti itulah yang jadi alasan kejayaan seorang Gladiator.

Pada akhirnya spekulasi manajemen Juve terbukti akurat. La Fidanzata d'Italia kembali sukses meraih scudetto, mencapai final Coppa Italia, dan menembus semi-final Liga Champions. Allegri memang memiliki pengaruh besar di situ, tapi kontribusi Conte yang membentuk fondasi juga tak boleh disingkirkan. Secara bijak, dampak dari transisi kepemimpinan keduanya lah yang membuat Sang Kekasih Italia berada di titik ini.

liga italia seri a b, liga italia era digital, liga italia tabla, liga italia terkini, liga italia tvri, liga italia klasemen, Apakah Massimiliano Allegri Memang Lebih Baik Dari Antonio Conte?
 
Top