• Silahkan bergabung dengan chat kami di Telegram group kami di N3Forum - https://t.me/n3forum
  • Welcome to the Nyit-Nyit.Net - N3 forum! This is a forum where offline-online gamers, programmers and reverser community can share, learn, communicate and interact, offer services, sell and buy game mods, hacks, cracks and cheats related, including for iOS and Android.

    If you're a pro-gamer or a programmer or a reverser, we would like to invite you to Sign Up and Log In on our website. Make sure to read the rules and abide by it, to ensure a fair and enjoyable user experience for everyone.

Liga Indonesia CATATAN: Merekonstruksi Sepakbola Indonesia

Bola

SBOBET
Journalist
Nasi sudah menjadi bubur. Berhasil menyingkirkan tuan rumah Singapura pada laga terakhir fase grup, Indonesia berharap menciptakan kejutan besar dengan lolos ke final SEA Games 2015. Apa daya, Thailand terlalu sulit dilalui. Lima gol yang bersarang di dalam gawang Teguh Amiruddin menjadi pil pahit bagi Indonesia, yang mendamba emas SEA Games pertama sejak 1991.

Puasa prestasi pun masih berlanjut. Lebih getir lagi, skuat Garuda Muda akan pulang dalam keputusasaan. Konflik Kemenpora dan PSSI belum juga menemui solusi. Ada perbedaan langkah dan pendapat di antara para pengambil kebijakan sehingga penyelenggaraan kompetisi, sebagai kawan candradimuka pemain-pemain timnas serta sumber nafkah para pemain, masih tidak menentu.

Seperti kita ketahui, konflik itu berujung sanksi FIFA berupa penangguhan hak keanggotaan PSSI yang juga berpengaruh pada partisipasi Indonesia di sejumlah ajang internasional, baik di level junior maupun senior. Dalam situasi normal saja prestasi tak kunjung datang, apalagi jika berkonflik.

Konflik Kemenpora dan PSSI tersebut praktis menandai periode suram sepakbola tanah air sepanjang dasawarsa 2010-an. Keikutsertaan Indonesia di ajang kualifikasi Piala Dunia 2018 merangkap Piala Asia 2019 telah dicoret AFC. Artinya, Indonesia kehilangan peluang tampil di pentas tertinggi sepakbola.

Piala Dunia Rusia mungkin terlalu jauh digapai, tapi lolos ke Piala Asia 2019 bukan sesuatu yang mustahil. Terutama karena penambahan peserta Piala Asia menjadi 24 tim sehingga sebenarnya peluang Indonesia untuk lolos Piala Asia kali pertama sejak menjadi tuan rumah 2007 lumayan besar.

Keikutsertaan Indonesia di ajang Piala AFF pun menjadi tanda tanya. Sudah untung tahun lalu AFF "mencegah" Indonesia mengikuti babak kualifikasi edisi 2016 mendatang. Tapi, sanksi FIFA yang belum ketahuan sampai kapan akan dicabut malah berpeluang mencegah sama sekali partisipasi Indonesia di kejuaraan itu tahun depan.

***​

Mungkin lima tahun lagi kita akan memandang dasawarsa 2010-an dengan penuh takjub, rasa heran, dan sekaligus menyesakkan. Selama dasawarsa ini, gejolak sepakbola Indonesia bermula dengan sebuah ledakan besar. Menjadi tuan rumah Piala AFF 2010 dan lolos ke final menciptakan euforia yang dahsyat. Sukses penyelenggaraan yang rupanya juga mendatangkan konsekuensi yang tidak kecil.

Sepakbola Indonesia rupanya potensial dari semua aspek: olahraga, politik, maupun ekonomi. Masyarakat berbondong-bondong menyaksikan pertandingan Timnas di Stadion Utama Senayan. Tiket menjadi barang langka dan harganya berlipat ganda di tangan calo. Calon penonton yang marah kehabisan tiket setelah mengantre berjam-jam bahkan sampai membakar loket.

Semua antusias memandang Timnas, rakyat kecil hingga Presiden. Pertandingan yang biasa diliput wartawan olahraga mendadak juga dipenuhi wartawan hiburan dan rombongan wartawan kepresidenan. Para pemain menjadi pesohor dadakan. Menu latihan dibarengi pula dengan menu safari ke berbagai kegiatan non-sepakbola. Padahal, Indonesia belum menjadi juara dan akhirnya gagal menjadi juara.

Setidaknya Piala AFF 2010 membuka mata bahwa sepakbola Indonesia adalah madu yang tersembunyi. Sayangnya, alih-alih memanfaatkan momentum 2010 menjadi energi yang konstruktif, otoritas sepakbola nasional malah terjebak pada politik praktis. Kekuasaan diperebutkan. Ketidakpuasan muncul, lahir lah kompetisi tandingan, dan bahkan belakangan muncul pula asosiasi tandingan.

Sampai akhirnya Pemerintah melalui Kemenpora turut terlibat dan merasa perlu melindungi sepakbola nasional dengan membekukan PSSI yang dianggap sebagai sumber segala masalah. Padahal pembekuan PSSI ini melenyapkan pula poros perputaran sepakbola tanah air. Lima tahun setelah ledakan euforia 2010, sepakbola Indonesia seperti kehilangan arah.


Hampir genap lima tahun setelah ledakan euforia itu, Sabtu (13/6) kemarin, Indonesia bertanding menghadapi Thailand di Stadion Nasional Singapura pada semi-final SEA Games. Apa yang menyebabkan Indonesia kalah begitu telak, lima gol tanpa balas, dari Thailand?

Mungkin kita semua masih menyimpan persepsi bahwa Indonesia pernah menjadi macan Asia, jadi kekuatan Indonesia sejajar dengan Thailand. Kenyataannya tidak demikian. Indonesia seperti diajari cara bermain sepakbola oleh Thailand. Indonesia, dengan berat hati, sudah jauh tertinggal. Nyaris tidak ada kemajuan berarti yang Indonesia alami sejak 2010. Bahkan di tingkat regional sekali pun. Sukses di Piala AFF U-19 dan lolos ke Piala Asia U-19 adalah letupan kecil, tetapi kita menganggapnya sebagai buah kepelatihan Indra Sjafri dan bukan lahir secara sistematis.

Pada periode yang sama, Thailand membangun sepakbola mereka dari kegagalan menjadi era baru yang penuh optimisme. Setelah merebut emas SEA Games 2007 di kandang sendiri dan merebut trofi Piala AFF 2002, mereka tanpa gelar. Ini hal yang tak termaafkan bagi fans yang selalu memiliki ekspektasi timnya tampil seperti Brasil dan menjadi raja Asia Tenggara.

Di tengah periode suram dan rasa ketidakpuasan terhadap rezim asosiasi Worawi Makudi, yang beberapa kali digoyang skandal korupsi, sejumlah pemilik klub tidak terjebak ke dalam politik praktis. Mereka lebih memilih menyibukkan diri dalam sepakbola praktis.

Dimulai dari modernisasi kompetisi. Fasilitas dibangun, kerja sama dengan klub-klub mancanegara dirintis, serta pelatih dan pemain asing berkualitas didatangkan. Kualitas Thai Premier League (TPL) pun dengan cepat diakui dan meraih reputasi sebagai kompetisi profesional terbaik di Asia Tenggara.

Penunjukan mantan striker legendaris Kiatisuk Senamuang sebagai pelatih tim U-23 pada 2013 membuka harapan baru. Senamuang mengembalikan kebanggaan sepakbola Thailand. Filosofinya jelas. Thailand menyuguhkan permainan umpan-umpan cepat yang atraktif. Pendek cerita, pelatih berjuluk Zico itu sukses mengembalikan emas SEA Games dan trofi Piala AFF ke tepian sungai Chao Phraya.

Jangan salah, visi Thailand di era Zico bukan lagi sekadar level Asia Tenggara, melainkan kancah Asia dan bahkan dunia. Tidak heran kalau sejumlah fans Thailand tampak membentangkan papan bertuliskan "FRIEND" di Stadion Nasional pada pertandingan semi-final melawan Indonesia lalu. Atmosfer pertandingan tak ubahnya seperti pertandingan persahabatan bagi Thailand.

Memang fans Thailand mengetahui situasi terkini sepakbola Indonesia dan mereka bersimpati, tapi mereka lebih mempedulikan hasil pertandingan. Siapa pun lawannya di tingkat Asia Tenggara, mereka ingin Thailand tampil cantik dan menang. Emas sepakbola SEA Games adalah hak ilahi bagi Thailand. Dei gratia.

***​

liga indonesia isl, live score, wikipedia, pes 2013, divisi 1, 2014, super, CATATAN: Merekonstruksi Sepakbola Indonesia
 
Top