Berita Internet (IT) N3, yang memberikan informasi terbaru kepada users N3 tentang IT pada khususnya dan lainnya pada umumnya. Mayoritas Kebocoran Data Tidak Terdeteksi Organisasi
Sebuah laporan tahunan yg dirilis Trustwave mengatakan bahwa sekitar 81 persen organisasi tidak mengetahui bahwa mereka mengalami kebocoran data. Laporan yg berjudul 2015 Trustwave Global Security Report mengambil sampel di lima belas negara dengan cara mengumpulkan hasil forensik digital orpun laporan penetration tester & hasil laporan lima pusat keamanan siber dunia. Semua hasil riset kemudian digabungkan menjadi laporan tersendiri yg dipublikasikan oleh Trustwave.
Trustwave mengemukakan bahwa sekitar 81 persen organisasi tidak mengetahui kebocoran data di dalam strukturnya. Menurut penelitian Trustwave, organisasi baru mengetahui dirinya mengalami kebocoran data 86 hari setelah insiden. Bahkan dalam beberapa kasus, ada pula organisasi yg baru mengetahui kebocoran data 111 hari pasca insiden. Hanya sekitar 10 persen organisasi yg mengetahui insiden kebocoran data.
Jumlah tersebut menurut Trustwave meningkat dibandingkan tahun 2013 lalu. Tidak hanya itu, Trustwave pun mengatakan bahwa organisasi yg mengetahui kebocoran data sebelum terekspos ke publik lazimnya menggunakan teknologi yg sudah canggih, memiliki standar kebijakan keamanan yg mumpuni & tentunya telah bekerja sama dengan pihak keamanan yg dalam hal ini adalah firma konsultan keamanan.
Dari banyak kasus yg telah diteliti oleh Trustwave, hanya 15 persen kasus kebocoran data yg berhasil diantisipasi dengan cepat. Mengapa kasus kebocoran data menjadi semakin marak? Vulnerability adalah salah satu alasannya. Mengacu pada data yg dirilis oleh Trustwave, sekitar 98 persen vulnerability adalah pemicu kebocoran data. Selain itu, sekitar 747 vulnerability ditemukan dalam satu aplikasi saja.
Menurut laporan tersebut, vulnerability sering dimanfaatkan oleh penjahat siber untuk membongkar sistem keamanan server. SQL Injection adalah salah satu metode yg sering digunakan oleh penjahat siber untuk memanfaatkan celah vulnerability. Setidaknya, sepertiga aplikasi yg ada sangat rentan terhadap metode SQL Injection ini. Jumlah kerentanan yg ditemukan pun melonjak tajam dibandingkan tahun 1998.
Hal lainnya yg dilaporkan adalah 60 persen email yg masuk & diterima organisasi adalah spam. Maraknya spam pun menjadi celah masuknya malware semacam ransomware ke dalam sistem komputer organisasi. Selain itu, 95 persen aplikasi mobile pun berisiko memiliki vulnerability mulai dari tingkat yg rendah, se&g hingga tinggi. Sekitar 45 persen aplikasi mobile memiliki risiko tinggi dalam hal vulnerability.
Comments
comments
N3 tidak bisa memberikan klarifikasi berita diatas adalah benar 100% karena kontenMayoritas Kebocoran Data Tidak Terdeteksi Organisasi diatas dikutip dari Internet secara gamblang.
Sumber
Sebuah laporan tahunan yg dirilis Trustwave mengatakan bahwa sekitar 81 persen organisasi tidak mengetahui bahwa mereka mengalami kebocoran data. Laporan yg berjudul 2015 Trustwave Global Security Report mengambil sampel di lima belas negara dengan cara mengumpulkan hasil forensik digital orpun laporan penetration tester & hasil laporan lima pusat keamanan siber dunia. Semua hasil riset kemudian digabungkan menjadi laporan tersendiri yg dipublikasikan oleh Trustwave.
Trustwave mengemukakan bahwa sekitar 81 persen organisasi tidak mengetahui kebocoran data di dalam strukturnya. Menurut penelitian Trustwave, organisasi baru mengetahui dirinya mengalami kebocoran data 86 hari setelah insiden. Bahkan dalam beberapa kasus, ada pula organisasi yg baru mengetahui kebocoran data 111 hari pasca insiden. Hanya sekitar 10 persen organisasi yg mengetahui insiden kebocoran data.
Jumlah tersebut menurut Trustwave meningkat dibandingkan tahun 2013 lalu. Tidak hanya itu, Trustwave pun mengatakan bahwa organisasi yg mengetahui kebocoran data sebelum terekspos ke publik lazimnya menggunakan teknologi yg sudah canggih, memiliki standar kebijakan keamanan yg mumpuni & tentunya telah bekerja sama dengan pihak keamanan yg dalam hal ini adalah firma konsultan keamanan.
Dari banyak kasus yg telah diteliti oleh Trustwave, hanya 15 persen kasus kebocoran data yg berhasil diantisipasi dengan cepat. Mengapa kasus kebocoran data menjadi semakin marak? Vulnerability adalah salah satu alasannya. Mengacu pada data yg dirilis oleh Trustwave, sekitar 98 persen vulnerability adalah pemicu kebocoran data. Selain itu, sekitar 747 vulnerability ditemukan dalam satu aplikasi saja.
Menurut laporan tersebut, vulnerability sering dimanfaatkan oleh penjahat siber untuk membongkar sistem keamanan server. SQL Injection adalah salah satu metode yg sering digunakan oleh penjahat siber untuk memanfaatkan celah vulnerability. Setidaknya, sepertiga aplikasi yg ada sangat rentan terhadap metode SQL Injection ini. Jumlah kerentanan yg ditemukan pun melonjak tajam dibandingkan tahun 1998.
Hal lainnya yg dilaporkan adalah 60 persen email yg masuk & diterima organisasi adalah spam. Maraknya spam pun menjadi celah masuknya malware semacam ransomware ke dalam sistem komputer organisasi. Selain itu, 95 persen aplikasi mobile pun berisiko memiliki vulnerability mulai dari tingkat yg rendah, se&g hingga tinggi. Sekitar 45 persen aplikasi mobile memiliki risiko tinggi dalam hal vulnerability.
Comments
comments
N3 tidak bisa memberikan klarifikasi berita diatas adalah benar 100% karena kontenMayoritas Kebocoran Data Tidak Terdeteksi Organisasi diatas dikutip dari Internet secara gamblang.
Sumber