Secara ekonomi, kemenangan Jokowi di Pilpres 2019 melegakan bagi pasar. Pada periode kedua Jokowi, presiden yang berfokus pada pembangunan infrastruktur ini diharapkan tidak terjebak dalam kepuasan. Jokowi diharapkan bisa lebih tegas dan fokus dalam membangun ekonomi bangsa.
Oleh: William Pesek (Nikkei Asian Review)
Investor Indonesia menghela nafas lega ketika Joko Widodo memenangkan periode keduanya sebagai presiden. Kekhawatiran atas kemenangan Prabowo Subianto yang mungkin akan mempengaruhi pasar telah mereda.
Meski begitu, investor menghadapi risiko lain: bahwa lima tahun ke depan kemungkinan tidak ada banyak reformasi untuk memodernisasi ekonomi yang kaku ini. Mereka tidak salah untuk khawatir. Untuk memahami alasannya, perlu ditelusuri kesalahan pendahulu Jokowi.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mengambil peran sebagai agen perubahan ekonomi ketika dia memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 2004. SBY awalnya membuat para reformis khawatir dia akan lebih memanjakan militer daripada memperbaiki celah yang menyebabkan keruntuhan ekonomi Indonesia tujuh tahun sebelumnya.
Beberapa minggu setelah devaluasi Thailand Juli 1997, Indonesia berhenti mempertahankan nilai rupiah, mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia. Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan rumah bagi populasi terbesar keempat di dunia, runtuh. Tak lama setelah itu, Soeharto kehilangan kekuasaannya yang telah ia pegang selama 32 tahun.
Dengan banyak ekonom khawatir Indonesia ditakdirkan menjadi negara gagal, SBY bergerak untuk memulihkan ketertiban.
Dia menghimpun para teknokrat yang kompeten, memperkuat lembaga-lembaga dan mengekang peran militer yang terlalu besar dan korup, menyoroti kleptokrasi dari era Suharto.
Baca Artikel Selengkapnya di sini
Oleh: William Pesek (Nikkei Asian Review)
Investor Indonesia menghela nafas lega ketika Joko Widodo memenangkan periode keduanya sebagai presiden. Kekhawatiran atas kemenangan Prabowo Subianto yang mungkin akan mempengaruhi pasar telah mereda.
Meski begitu, investor menghadapi risiko lain: bahwa lima tahun ke depan kemungkinan tidak ada banyak reformasi untuk memodernisasi ekonomi yang kaku ini. Mereka tidak salah untuk khawatir. Untuk memahami alasannya, perlu ditelusuri kesalahan pendahulu Jokowi.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mengambil peran sebagai agen perubahan ekonomi ketika dia memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 2004. SBY awalnya membuat para reformis khawatir dia akan lebih memanjakan militer daripada memperbaiki celah yang menyebabkan keruntuhan ekonomi Indonesia tujuh tahun sebelumnya.
Beberapa minggu setelah devaluasi Thailand Juli 1997, Indonesia berhenti mempertahankan nilai rupiah, mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia. Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan rumah bagi populasi terbesar keempat di dunia, runtuh. Tak lama setelah itu, Soeharto kehilangan kekuasaannya yang telah ia pegang selama 32 tahun.
Dengan banyak ekonom khawatir Indonesia ditakdirkan menjadi negara gagal, SBY bergerak untuk memulihkan ketertiban.
Dia menghimpun para teknokrat yang kompeten, memperkuat lembaga-lembaga dan mengekang peran militer yang terlalu besar dan korup, menyoroti kleptokrasi dari era Suharto.
Baca Artikel Selengkapnya di sini