Berbeda dengan Fahmi yg mengalami dilema antara rasa takut, penasaran, & tanggung jawab saat bermain game horor, saya malah sangat menikmati sensasi ketakutan yg ditebar saat berhadapan dengan teror di sebuah game horor. Itu juga yg menjadi alasan saya ketika memutuskan untuk mengulas Corpse Party: Blood Drive walau tidak pernah memainkan prekuelnya.
Corpse Party: Blood Drive merupakan kelanjutan dari game horor Corpse Party: Book of Shadows yg pertama kali dirilis untuk PSP tahun 2011 silam. Sebagai sekuel, tim GrisGris selaku developer menghadirkan berbagai tampilan baru sesuai dengan kemampuan hardware PS Vita yg lebih mumpuni. Janji ini sayangnya dicoreng dengan berbagai kekurangan yg menghambat saya menikmati game ini.
Kembali Lagi ke Sekolah Terkutuk
Cerita pada Corpse Party: Blood Drive terjadi setelah peristiwa pada game sebelumnya. Ayumi Shinozaki & beberapa temannya berhasil selamat dari sekolah terkutuk Heavenly Host Academy, walau tidak semua siswa yg pergi ke sekolah terkutuk itu dapat kembali hidup-hidup.
Hidup Ayumi menjadi tidak tenang karena dihantui perasaan bersalah. Ia menyalahkan dirinya yg telah menggunakan Book of Shadows & mengakibatkan kematian teman-temannya di Heavenly Host Academy. Teman-teman terdekatnya yg sama-sama selamat dari peristiwa naas tersebut berusaha mengembalikan semangat hidupnya. Namun, ia malah mengambil keputusan drastis yg ditakutkan semua pihak.
Pertemuan kembali Ayumi dengan Aiko Niwa, siswa peneliti hal mistis dari Pauwlonia Academy High School, membuatnya merasa dapat menghidupkan kembali teman-temannya dengan bantuan Book of Shadows. Untuk mendapatkan kembali buku itu, ia harus kembali ke bangunan Heavenly Host Academy di mana teman-temannya tewas mengenaskan. Akankah ia berhasil melakukan niatnya? Atau malah berujung petaka?
Bagai Membaca Novel
Oke, seri Corpse Party pada esensinya adalah sebuah visual novel. Saya menyadari penuh hal itu saat mulai memainkan game ini. Harapan saya ketika memainkan sebuah visual novel adalah menikmati banyak percakapan & teks dalam sebuah narasi yg immersive. Sayangnya, saya tidak mendapatkan pengalaman tersebut.
Sebagai sebuah game, saya mengharapkan pengalaman berinteraksi dengan cerita di mana keputusan yg saya ambil akan mempengaruhi progres kisah. Developer GrisGris memang memasukkan unsur percabangan semu serta keputusan cepat yg bila salah diambil akan menyebabkan karakter mati. Namun, keberadaan interaksi yg saya harapkan terpisah sangat jauh.
Pemisahan jauh yg saya maksud di sini adalah jeda antara kemunculan momen untuk berinteraksi dengan game serta dialog antara para karakter di dalam game. Secara kasar, momen pemilihan keputusan bisa dibilang muncul hanya sekali dalam setengah jam.
Corpse Party: Blood Drive juga menghadirkan mode penjelajahan di mana saya bisa mengendalikan karakter menelusuri dunia game yg terbatas. Sayangnya, lagi-lagi saya diharuskan untuk menunggu sangat lama untuk mendapatkan waktu penjelajahan yg hanya beberapa menit. Sisanya? Silakan menikmati percakapan di dalam game.
Desain Karakter yg Tidak Tepat
Sebagai sebuah penggemar horor surealis, Corpse Party: Blood Drive memiliki tantangan besar untuk membuat saya merinding dengan desain karakternya dalam wujud anime bergaya moe. Awalnya saya penasaran bagaimana developer GrisGris akan menampilkan adegan gore saat para karakter tercabik / bergelimpangan penuh darah. Yang terjadi adalah, alih-alih ketakutan, saya malah mengernyitkan dahi.
Corpse Party: Blood Drive menggunakan gaya chibi yg imut. Saya disajikan para tokoh dalam proporsi kepala yg sedikit lebih besar daripada proporsi badan secara keseluruhan. Gaya seperti ini menurut saya tidak bermasalah bila digunakan dalam narasi yg fun & ceria, namun tampaknya gagal dalam cerita horor.
Tampilan karakter ketika punggungnya dipatahkan, tersayat pecahan kaca, / bahkan kehilangan sebelah matanya, semua terlihat jauh dari kesan horor. Kekeliruan ini semakin menjadi-jadi ketika salah satu karakter kehilangan mata, tampilan chibi dari karakter tersebut masih menampilkan kedua matanya yg utuh.
Satu-satunya hal yg masih membuat saya lumayan merinding adalah gambar cutscene bergaya anime yg sesekali muncul di layar. Beberapanya cukup menakutkan, hingga jantung saya berdegup cukup kencang. Namun, tampilan ini sayangnya terdapat pada plot cerita yg disajikan terlalu panjang & bertele-tele.
Kendala Teknis Cukup Menjengkelkan
Saya mengapresiasi usaha GrisGris untuk menghadirkan tampilan 3D pada seri Corpse Party yg belum pernah dilakukan sebelumnya. Lagi-lagi sayangnya, presentasi yg lebih kompleks tersebut dijangkiti masalah kronis berupa layar loading.
Ingin memulai game? Loading. Hendak memilih bab cerita? Lagi-lagi loading. Membuka ruang baru? Tunggu layar loading yaa. Keluar masuk menu opsi di dalam game? Apaaaa??!! Ada layar loading??! Lebih parahnya lagi, waktu tunggu saat game sedang loading terasa cukup panjang di kisaran sepuluh detik. Hal ini lama-lama membuat saya malas mengakses menu opsi untuk memilih obat saat karakter saya sekarat & lebih memilih mati.
Gameplay Cacat
Belum cukup dengan masalah waktu loading, developer kadang-kadang (atau malah sengaja?) menyembunyikan objek penting dalam cerita secara ceroboh tanpa petunjuk bagi pemainnya. Siapa sangka kalau meja / lemari yg sering dilewati akan menyimpan benda penting? Padahal ada mekanisme tidak kasatmata di dalam game yg membuat karakter lebih rentan terhadap serangan makhluk gaib bila terlalu banyak berinteraksi dengan benda-benda di dalam bangunan Heavenly Host Academy.
Selain itu, ada juga perangkap jebakan kawat, lantai rapuh, hingga pecahan kaca yg berserakan. Kesemua itu dapat mengurangi HP dari karakter pada saat mode penjelajahan. Tapi, kalau dipikir-pikir, hantu mana sih yg menyiapkan jebakan kawat untuk mencelakai pendatang yg tidak diundang?
Belum puas “menyiksa” pemain dengan rancangan gameplay cacat, developer GrisGris memutuskan untuk menambah sistem baterai senter yg bisa habis, obat untuk mengembalikan HP, hingga jimat pengusir hantu. Semuanya terdengar seperti elemen aksi survival yg mendebarkan. Namun kenyataannya, eksekusi setengah hati untukadegan aksi pada tampilan chibi malah tidak terasa mendebarkan sama sekali.
Sulih Suara & Efek Musik Meyakinkan
Di balik semua kekurangan yg saya sebutkan di atas, untungnya Corpse Party: Blood Drive menghadirkan kualitas sulih suara & musik latar yg memuaskan untuk ukuran sebuah visual novel. Hampir semua dialog dalam game diisi dengan sulih suara profesional yg mampu memberikan kedalaman emosi. Efek musik yg ditambahkan juga cukup berhasil menebar perasaan teror bagi saya yg mendengarnya.
Pun demikian, saya mendapati beberapa terjemahan teks berbahasa Inggris yg ada tidak terlalu tepat dengan kata yg diucapkan pada naskah asli berbahasa Jepang. Mungkin ini adalah keputusan yg diambil oleh penerbit XSEED Games yg mendistribusikan Corpse Party: Blood Drive di negara Barat, namun perbedaan ini tidak terlalu membuat kisah menyimpang jauh.
Kesimpulan: Hanya untuk Penyuka Seri Corpse Party
Saya dapat membayangkan suka cita para penggemar seri Corpse Party dengan perilisan Corpse Party: Blood Drive secara internasional. Akhirnya kelanjutan nasib Ayumi & kawan-kawan bisa dimengerti oleh para gamer di luar Jepang. Sayangnya, hal ini mungkin kurang bisa dinikmati bagi penggemar horor kasual yg tidak mengikuti kisah ini sebelumnya.
Terlalu banyak masalah teknis & desain game yg harus dihadapi oleh orang yg hanya sekadar ingin mendapatkan pengalaman horor semata. Alih-alih ketakutan, bisa-bisa yg didapatkan malah perasaan sebal. Kamu yg tidak penasaran dengan kelanjutan kisah Corpse Party: Book of Shadows sebaiknya meminjam game ini dari teman, / menontonnya lewat video Let’s Play di YouTube saja.
PlayStation Store Link (US): Corpse Party: Blood Drive, $39,99 (Sekitar Rp550.000)
Dikutip dari sini