• Silahkan bergabung dengan chat kami di Telegram group kami di N3Forum - https://t.me/n3forum
  • Welcome to the Nyit-Nyit.Net - N3 forum! This is a forum where offline-online gamers, programmers and reverser community can share, learn, communicate and interact, offer services, sell and buy game mods, hacks, cracks and cheats related, including for iOS and Android.

    If you're a pro-gamer or a programmer or a reverser, we would like to invite you to Sign Up and Log In on our website. Make sure to read the rules and abide by it, to ensure a fair and enjoyable user experience for everyone.

Terorisme Bertubi-tubi, Tanda Jokowi Lemah Tangani Keamanan Indonesia?

KurirBerita

TK B
Level 0
Serangan terorisme di Surabaya—yang paling mematikan dalam satu dekade—memberikan amunisi bagi lawan politik Presiden Jokowi, untuk menyerang kepemimpinannya yang “lemah.” Hal ini mengancam akan menggagalkan dukungan luas yang sejauh ini dinikmati Jokowi menjelang pemilihan presiden pada bulan April 2019 mendatang.

Seiring jawaban perlahan-lahan terungkap tentang keluarga di balik serangan teror di kota Surabaya di Indonesia dan dekat Sidoarjo, pertanyaan kembali muncul tentang kemampuan pemerintah Presiden Joko Widodo untuk mencegah dan melindungi ledakan baru terorisme Islam hingga ke tingkat yang belum terlihat sejak tahun 2000-an.

Negosiasi jangka panjang untuk merevisi undang-undang anti-terorisme, dan persepsi yang sudah ada bahwa pemerintah “lemah” dalam masalah keamanan nasional, mengancam akan menggagalkan dukungan luas yang sejauh ini dinikmati Jokowi menjelang pemilihan presiden pada bulan April mendatang.


Keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri pada akhir pekan ini, telah menjadi preseden baru yang mengejutkan di Indonesia, di mana keluarga para jihadis biasanya terbatas pada peran gender yang lebih tradisional, dan jarang terlibat dalam serangan teror.

Analis keamanan sebelumnya memperingatkan bahwa sifat sel-sel teror Asia Tenggara berubah melalui peningkatan keterlibatan perempuan. Penggunaan seluruh unit keluarga, sementara itu, menjamin kudeta propaganda teror seperti ISIS melalui liputan media yang lebih luas dan lebih sensasional.

Tetapi tren ini juga akan membuat lebih sulit bagi badan-badan intelijen untuk mengidentifikasi sumber-sumber potensial kekerasan ekstremis, dengan laporan-laporan yang muncul di mana baru-baru ini melibatkan para keluarga yang sebelumnya diabaikan dan tidak terlibat dalam komunitas lokal mereka.

Biasanya, sel-sel ISIS di Indonesia menargetkan lokasi-lokasi kepolisian, seperti yang terlihat dalam kerusuhan di Depok pekan lalu dan pengeboman bunuh diri sebelumnya. Namun penargetan gereja pada akhir pekan ini mengingatkan kembali pada tahun 2000-an ketika kelompok-kelompok teror jauh lebih tertarik untuk menargetkan sasaran lunak dan keras Barat, dan memicu sektarianisme agama.

Peralihan yang mengejutkan dalam modus operandi dan ambisi, membuat negara itu bersiaga pada Minggu (13/5), seiring jumlah korban tewas meningkat. Ketika semuanya tenang, serangan itu adalah yang paling mematikan dalam satu dekade, dengan setidaknya 25 tewas.

Jokowi tiba di Surabaya pada Minggu (13/5) sore, langsung menuju ke lokasi ledakan dan kemudian mengunjungi korban selamat di Rumah Sakit Dr Soetomo. Dari sana, ia menyerukan agar semua masyarakat Indonesia tetap tenang tetapi waspada, dan berjanji bahwa pihak berwenang akan menyelidiki secara ekstensif.

“Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak relevan dengan agama apa pun. Para pelaku bahkan menggunakan seorang bocah berusia 10 tahun sebagai pelaku bom bunuh diri,” katanya, yang menekankan keterkejutan di negara itu terhadap kebrutalan serangan yang berorientasi keluarga.

Dia menjanjikan dukungan pemerintah untuk biaya medis—sebuah masalah yang telah lama dituduh oleh kelompok-kelompok korban selamat diabaikan pemerintah.

Pasukan oposisi sudah bersiap-siap, merasakan peluang untuk memanfaatkan insiden itu. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat—dan penentang abadi Jokowi—Fadli Zon, menyalahkan ‘kepemimpinan lemah’ dalam serangkaian tweet yang menawarkan dukungan kepada korban dan kritik menyusul serangan tersebut.

Komentar itu memicu kecaman berat secara online, di mana warganet menuduh wakil Pendiri Partai Gerindra tersebut mengeksploitasi tragedi ini demi keuntungan pribadi dan politik. Menjelang pemilu 2019, komentar Fadli menunjukkan beberapa masalah akan terlarang di jalur kampanye.

“Memang benar untuk memperkirakan bahwa pasti akan ada beberapa politik kasar selama kampanye, dan partisan seperti Fadi Zon akan bersedia untuk bertindak serendah mungkin, termasuk upaya untuk mempolitisasi tragedi seperti ini,” Matthew Busch, seorang peneliti yang berfokus pada Indonesia di wadah pemikir Lowy Institute, mengatakan kepada Asia Times.

Namun, Busch menekankan, mengaitkan pemerintahan dengan terorisme adalah langkah dari apa yang paling diharapkan dari taktik Fadli, yang berfokus pada politik identitas dan memecah pemilih di sepanjang garis agama dan etnis. Namun, apakah langkah itu akan berhasil, adalah pertanyaan lain.

“Pada akhirnya kritik miring terhadap kepemimpinan ini melalui serangan teroris, tampaknya tidak akan bergema, karena banyak orang Indonesia yang kemungkinan akan terkejut oleh serangan ini dan mengabaikan upaya untuk mempolitisasinya,” kata Busch.

Ada jalan lain, bagaimanapun, untuk menantang Jokowi terkait kekuatan keamanannya, sementara tidak mengesampingkan pemilih—yaitu, revisi UU Anti-Terorisme tahun 2003. Segera setelah serangan pertama pada Minggu (13/5), para anggota parlemen pro-pemerintah menghidupkan kembali diskusi tentang undang-undang tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu harus dan akan menjadi prioritas.

Revisi ini ditindaklanjuti menyusul apa yang disebut serangan teror Thamrin di Jakarta Pusat pada Januari 2016, di mana gerilyawan yang terkait dengan ISIS—termasuk dua pelaku bom bunuh diri—memicu beberapa ledakan dan tembakan senjata di dekat pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta Pusat.

Amandemen yang ditujukan untuk memperkuat ketentuan keamanan undang-undang tersebut, bagaimanapun, dengan cepat macet di tahap komite atas masalah hak asasi manusia, saat anggota parlemen terlibat dalam pengajuan untuk memperpanjang masa penahanan tanpa tuduhan selama tujuh hingga 30 hari, dan memperpanjang hukuman penjara yang diizinkan untuk tuduhan yang terkait dengan terorisme.

Rekomendasi untuk membentuk badan pengawas untuk memantau badan-badan anti-terorisme, termasuk unit polisi elit Detasemen Khusus 88, memicu kemarahan polisi yang berargumen bahwa langkah itu akan mahal dan tidak efektif—sebuah argumen yang mengancam akan menempatkan polisi di luar pemerintah.

Sekarang, dengan para penyelidik dan badan-badan intelijen yang berjuang untuk menyelesaikan dan memahami serangan teror pada akhir pekan ini, beberapa pihak mempertanyakan apakah revisi yang diusulkan tetapi tidak diberlakukan terhadap UU terorisme tersebut akan membantu mencegah serangan itu.

Perdebatan itu pasti akan lebih bersifat politis dibandingkan akademis. Judith Jacob, seorang analis keamanan dan terorisme, untuk satu hal, mengatakan bahwa antara tidak mungkin atau sulit untuk mengukur dampak dari undang-undang anti-terorisme dalam mencegah serangan.

“Konsensus akademis mengatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa meningkatnya keparahan hukuman mengurangi tindakan terorisme, yang mengatakan bahwa undang-undang ini memiliki fungsi lain, seperti menunjukkan bahwa pemerintah melakukan sesuatu,” katanya.

Jokowi tampaknya sadar akan pentingnya penunjukkan seperti itu, khususnya setelah serangan tersebut. Pada Senin (14/5), dia mengatakan bahwa jika DPR tidak menyetujui revisi undang-undang selama sesi bulan ini, maka dia akan secara sepihak mengeluarkan Perppu—sebuah peraturan sebagai pengganti undang-undang yang dikeluarkan pada saat darurat.

Walau Jokowi dipandang relatif lemah pada isu-isu keamanan dibandingkan lawan-lawannya yang lebih militer—termasuk saingannya dalam memperebutkan jabatan kepresidenan dan mantan tentara Prabowo Subianto—namun belum jelas apakah serangan dan tanggapannya secara signifikan akan mengurangi peluang pemilihan kembali.

“Jokowi akan dicerca jika dia memang begitu (lemah), dan akan dicerca jika dia tidak begitu,” kata akademisi Jacob, yang menekankan bahwa menyeimbangkan antara tuntutan pemilih dan keterbatasan undang-undang anti-terorisme adalah tugas yang sulit di seluruh dunia.


Baca Selengkapnya: Teror Bertubi-tubi, Tanda Jokowi Lemah Tangani Keamanan Indonesia?
 
Top