Jika salah satu tujuan bom Minggu Paskah adalah untuk membangkitkan kebencian agama baru di Sri Lanka, tujuan itu tampaknya tercapai. Warga Muslim telah menjadi sasaran kemarahan para kerabat korban bom Sri Lanka serta warga Kristen lainnya, setelah ISIS mengklaim bertanggung jawab atas bom bunuh diri pada Minggu (21/4) yang menewaskan lebih dari 350 orang. Warga Kristen yang marah mendatangi rumah-rumah Muslim, menghancurkan jendela, mendobrak pintu, menyeret orang ke jalan, memukuli mereka, dan kemudian mengancam akan membunuh mereka.
Oleh: Jeffrey Gettleman dan Dharisha Bastians (The New York Times)
Auranzeb Zabi sedang memasak nasi di rumah seorang temannya pada Rabu (24/4), ketika dia mendengar teriakan dari luar, dan saat ia melihat ke luar jendela, ada gerombolan pria Sri Lanka membawa tongkat-tongkat besi.
Sehari setelah ISIS mengklaim bertanggung jawab atas bom bunuh diri yang menewaskan lebih dari 350 orang, warga Muslim Sri Lanka menghadapi protes di beberapa daerah.
Gerombolan tersebut mengepung rumah itu. Zabi—seorang pengungsi Pakistan yang telah tinggal di Sri Lanka selama dua tahun—membawa kedua anaknya berlari ke halaman dan melompati dua tembok sebelum mencapai pos pemeriksaan militer.
Di sana gerombolan itu menyusulnya, katanya, dan memukulinya, saat dilerai petugas militer, mereka meminta petugas agar membiarkan mereka membunuhnya. Beberapa jam kemudian, Zabi masih tampak ketakutan.
“Ada sekitar 100 orang,” katanya, lalu suaranya tercekat, matanya berkaca-kaca.
Baca Artikel Selengkapnya di sini
Oleh: Jeffrey Gettleman dan Dharisha Bastians (The New York Times)
Auranzeb Zabi sedang memasak nasi di rumah seorang temannya pada Rabu (24/4), ketika dia mendengar teriakan dari luar, dan saat ia melihat ke luar jendela, ada gerombolan pria Sri Lanka membawa tongkat-tongkat besi.
Sehari setelah ISIS mengklaim bertanggung jawab atas bom bunuh diri yang menewaskan lebih dari 350 orang, warga Muslim Sri Lanka menghadapi protes di beberapa daerah.
Gerombolan tersebut mengepung rumah itu. Zabi—seorang pengungsi Pakistan yang telah tinggal di Sri Lanka selama dua tahun—membawa kedua anaknya berlari ke halaman dan melompati dua tembok sebelum mencapai pos pemeriksaan militer.
Di sana gerombolan itu menyusulnya, katanya, dan memukulinya, saat dilerai petugas militer, mereka meminta petugas agar membiarkan mereka membunuhnya. Beberapa jam kemudian, Zabi masih tampak ketakutan.
“Ada sekitar 100 orang,” katanya, lalu suaranya tercekat, matanya berkaca-kaca.
Baca Artikel Selengkapnya di sini